Senin, 04 Juni 2012

Sistem Tanam Paksa

1. Latar Belakang Tanam Paksa 

 

Setelah sistem pajak tanah yang diberlakukan oleh Raffles, kemudian digantikan oleh sistem taman paksa. Pada tahun 1830 pemerintah Hindia-Belanda mengankat Gubernur Jenderal baru untuk Indonesia yaitu Johanes van Den Bosch. Tugas utamanya untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor yang terhenti selama sistem pajak tanah berlangsung.

Sistem tanam paksa muncul karena pihak pemerintah Hindia-Belanda mengalami keadaan parah di bidang keuangan dan budget pemerintahan Hindia-Belanda dibebani hutang-hutang yang besar. Belanda merasa tidak mampu menanggulangi masalah ini sendiri, sehingga muncul pikiran untuk mencari pemecahan di koloni-koloninya, salah satunya Indonesia. Atas dasar itu maka sistem tanam paksa diperkenalkan oleh Van den Bocsh.

Dasarnya sistem tanam paksa selama zaman Belanda terkenal dengan nama culturstelsel, berarti pemulihan sistem eksploitasi berupa penyerahan-penyerahan wajib yang pernah dipraktekkan oleh VOC dahulu. Culturstelsel menganut paham konservatif yaitu dalam pelaksanaannya menggunakan tatanan feodal (menggunakan bantuan orang-orang lokal). Di mana desa menjadi mata rantai antara petani dan pejabat-pejabat bangsa Indonesia, yaitu bupati atau regent (sebutan dari orang-orang Belanda). Bupati bertanggung jawab kepada pemerintah bangsa Eropa. Paham konservatif digunakan untuk menggantikan paham liberalisme yang dipandang tidak sesuai dengan struktur sosial yang sangat feodal di Jawa dengan segala ikatan-ikatan tradisionalnya. Pemerintah tidak sanggup menembusnya langsung berhubungan dengan rakyat secara perseorangan dan bebas.

Menurut Van den Bosch, paham konservatif secara langsung akan membentuk hubungan langsung antara pemerintah dan desa dengan melampaui peranan bupati sehingga perantara seperti hal yang berlaku pada masa VOC. Bupati hanya khusus mengawasi dan menjamin produksi atau disebut mandor. Sedangkan kepala desa bertanggung jawab untuk memenuhi target produksi. Bupati dan kepala desa dibayar dengan perhitungan persentase terhadap penyerahan-penyerahan komoditi pertanian, yang disebut kultur procenten (prosenan tanaman) yaitu jumlah sebesar prosenan tertentu dari harga hasil tanam paksa yang terkumpul di wilayahnya.

1.1 Motif Tanam Paksa


Pelaksanaan sistem tanam paksa (culturstelsel) sebenarnya merupakan usaha Pemerintah Hindia Belanda dalam memperbaiki keuangan di Hindia Belanda. Usaha tersebut sebenarnya sudah dilakukan sejak masa pemerintahan Van der Capellen (1819-1825). Usaha-usaha Belanda tersebut semakin mendapat hambatan karena persaingan dagang dengan pihak Inggris. Apalagi setelah berdirinya Singapura pada tahun 1819, menyebabkan peranan Batavia dalam perdagangan semakin kecil di kawasan Asia Tenggara. Untuk kawasan Indonesia sendiri diperparah dengan jatuhnya harga kopi dalam perdagangan Eropa. Karena kopi merupakan produk ekspor andalan pendapatan utama bagi Belanda.

Selain itu, di negeri Belanda sendiri pecah Perang Belgia pada tahun 1830. Perang ini berakhir dengan kemerdekaan Belgia (memisahkan diri dari Belanda) dan menyebabkan keruntuhan keuangan Belanda. Di Indonesia, Belanda juga mendapatkan serangan, yaitu Perang Diponegoro (1825-1830) yang merupakan perang termahal bagi pihak Belanda dalam menghadapi perlawanan dari pihak pribumi.

1.2 Ciri dan Ketentuan Sistem Tanam Paksa

Ciri utama dari pelaksanaan sistem tanam paksa adalah keharusan bagi rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk pajak in natura, yaitu dalam bentuk hasil-hasil pertanian mereka. Pada hakikatnya sistem taman paksa ini adalah penerapan kembali sistem penanaman wajib yang berlaku di Parahyangan selama 1810-1830.

Ketentuan-ketentuan sistem tanam paksa, terdapat dalam Staatblad (lembaran negara) tahun 1834 No. 22, lebih kurang 4 tahun setelah pelaksanaan sistem tanam paksa. Ketentuan pokok sistem tanam paksa, antara lain:

1. Orang-orang Indonesia akan menyediakan sebagian dari tanah sawahnya untuk ditanami tanaman yang laku di pasar Eropa seperti kopi, teh, tebu, dan nila. Tanah yang diserahkan itu tidak lebih dari seperlima dari seluruh sawah desa;

2. Bagian tanah yang disediakan sebanyak seperlima luas sawah itu bebas dari pajak;

3. Pekerjaan untuk memelihara tanaman tersebut tidak boleh melebihi lamanya pekerjaan yang diperlukan untuk memelihara sawahnya sendiri;

4. Hasil dari tanaman tersebut diserahkan kepada Pemerintah Belanda dan ditimbang. Jika harganya ditaksir melebihi harga sewa tanah yang harus dibayar oleh rakyat, maka lebihnya tersebut akan dikembalikan kepada rakyat. Hal ini bertujuan untuk memacu para penanam supaya bertanam dan memajukan tanaman ekspor;

5. Terdapat pembagian tugas yang jelas, yaitu ada yang bertugas menanam saja, ada yang memungut hasil, ada yang bertugas mengirim hasil ke pusat, dan ada yang bekerja di pabrik. Pembagian ini bertujuan untuk menghindari agar tidak ada tenaga yang harus bekerja sepanjang tahun terus-menerus;

6. Tanaman yang rusak akibat bencana alam, dan bukan akibat kemalasan atau kelalaian rakyat, maka akan ditangggung oleh pihak pemerintah;

7. Bagi para penduduk yang tidak mempunyai tanah akan dipekerjakan pada perkebunan milik pemerintah selama 65 hari dalam setahun;

8. Pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada pegawai-pegawai pribumi, dan pihak pegawai Eropa hanya sebagai pengawas.

2. Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa 

 

Salah satu akibat yang penting dari sistem tanam paksa adalah meluasnya bentuk milik tanah bersama ( milik komunal ). Hal ini disebabkan karena para pegawai pemerintah kolonial cenderung untuk memperlakukan desa dengan semua tenaga kerja yang tersedia dan tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa sebagai satu keseluruhan untuk memudahkan pekerjaan mereka dalam menetapkan tugas penanaman-penanaman paksa yang dibebankan pada tiap desa. Jika para pegawai pemerintah kolonial misalnya harus melakukan persetujuan-persetujuan yang terpisah dengan tiap-tiap petani yang memiliki tanah untuk memperoleh seperlima dari tiap-tiap bidang tanah mereka, maka hal ini sangat mempersulit pekerjaan mereka. Jauh lebih mudah untuk menetapkan target yang harus dicapai oleh masing-masing desa sebagai satu keseluruhan.

Dibanding dengan penyerahan wajib ( contingenteringen ) yang dipaksakan VOC kepada penduduk, maka sistem tanam paksa menaruh beban yang lebih berat di atas pundak rakyat. Jika selama jaman VOC pelaksanaan penyerahan wajib diserahkan kepada kepala rakyat sendiri, maka selama sistem tanam paksa para pegawai Eropa dari pemerintah kolonoial langsung melaksanakan dan mengawasi penanaman paksa tersebut.

Hal ini sering berarti peningkatan efisiensi dari sistem tanam paksa, dalam arti kata bahwa hasil produksi tanaman dagangan dapat ditingkatkan berkat pengawasan dan campur tangan langsung dari pegawai Belanda tersebut. Di lain pihak peningkatan efisiensi ini tentu berarti menambah beban yang harus dipikul rakyat.

Untuk menjamin bahwa pegawai Belanda maupun para bupati dan kepala desa menunaikan tugas mereka dengan baik, maka pemerintah kolonial memberikan perangsang finansial kepada mereka yang terkenal dengan nama cultuurprocenten, yang diberikan kepada mereka di samping pendapatan mereka. Cultuurprocenten ini merupakan presentasi tertentu dari penghasilan yang diperoleh dari penjualan tanaman-tanaman ekspor tersebut yang diserahkan kepada pegawai Belanda, para bupati, dan kepala-kepala desa jika mereka berhasil dalam mencapai atau melampaui target produksi yang dibebankan tiap-tiap desa.

Cara-cara ini tentu menimbulkan banyak penyelewengan yang sangat menekan dan merugikan rakyat, karena pegawai-pegawai Belanda, maupun para bupati dan kepala-kepala desa mempunyai kepentingan mereka masing-masing. Akibat ketentuan ini para pegawai cenderung menjadi pegawai-pegawai yang buruk, karena tidak lagi menghiraukan rasa keadilan, mematikan rasa peri kemanusiaan, menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan rakyat dan tidak mengindahkan lagi kepentingan penduduk demi mementingkan kepentingan sendiri.

2.2 Kedudukan dan pola kerja rakyat

Menurut Van den Bosch, cultuurstelsel didasarkan atas dasar atas hukum adat yang dinyatakan barang siapa berkuasa disuatu daerah, ia memiliki tanah dan penduduknya. Sebelum kedatangn Belanda, raja-raja di nusantara yang berkuasa serta memiliki tanah dan penduduk. Karena raja-raja di nusantara sudah takluk kepada Belanda, pemerintah Belanda menganggap dirinya sebagai pengganti raja-raja tersebut. Oleh karena itu, penduduk harus menyerahkan sebagian hasil tanahnya kepada Belanda. Pemerintah kolonial memanfaatkan para bupati dan kepala-kepala desa untuk memaksa rakyat agar menyerahkan tanah kepada Belanda.

Rencana untuk memeras ekonomi Indonesia dilakukan dengan kedok agama dan adat-istiadat rakyat, dan hubungan dengan pejabat tradisional seperti seperi raja, bupati, wedana maupun lurah. Kedudukan para pejabat tradisional digunakan oleh Belanda untuk memaksa rakyat bekerja sesuai dengan kehendak Belanda. Untuk mengatur hubungan kerja tersebut, maka dibuat perjanjian tentang pengaturan tenaga dan tanaman yang dikehendaki oleh Belanda. Setiap pejabat tradisional akan mendapat persen dari perjanjian tersebut: Rakyat patuh pada mereka, sebab mereka punya kharisma karena dan adat.

Guna menjamin agar para bupati dari kepala desa melaksanakan tugasnya dengan baik, pemerintah kolonial memberikan perangsang yang disebut culture procenten disamping penghasilan tetap. Cultuur procenten adalah bonus, dalam prosentase tertentu yang diberikan kepada pegawai Belanda, para bupati, dan kepala desa apabila hasil produksi di suatau wilayah mencapai atau melampui target yang dibebankan. Cara-cara ini menimbulkan banyak penyelewengan yang sangat menekan dan merugikan rakyat.

Pada tahun 1830-1850 beban yang harus ditanggung oleh rakyat adalah kerja paksa. Pemerintah kolonial mengerahkan tenaga rakyat untuk pembangunan dan pemeliharaan fasilitas umum,( Rodi untuk pemerintah Belanda) antara lain jalan raya, jembatan, dan waduk. Disamping itu, rakyat dikerahkan antara lain dalam pembangunan dan pemeliharaan rumah-rumah pegawai kolonial, mengatar surat dan barang, serta menjaga gudang. Rakyat yang tidak memiliki tanah dipekerjakan pada perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah selama 65 hari setiap tahun. Mereka juga ada yang mesti bekerja jauh dari desanya, dan mereka pula harus menyediakan makanannya sendiri sedang waktu untuk mengerjakan sawahnya habis sehingga persediaan makanan kurang sekali. Buruh yang seharusnya dibayar oleh oleh pemerintah dijadikan tenaga paksa, seperti di Rembang, Jawa Tengah. Kalaupun mereka dibayar mereka hanya dibayar sedikit. Sedangkan pajak atas tanah yang diambil mesti di bayar terus.

2.2 Penyimpangan pelaksanaan sistem tanam paksa


Dalam pelaksanaan sistem tanam paksa, ketentuan yang sudah dibuat berbeda dengan apa yang terjadi di lapangan. Terdapat penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan sistem tanam paksa tersebut. Penyimpangan-penyimpangan tersebut, antara lain:

1. Perjanjian tersebut seharusnya dilakukan dengan sukarela, tetapi dalam pelaksanannya dilakukan dengan cara paksaan. Pemerintah kolonial memanfaatkan pejabat-pejabat lokal seperti bupati dan kepala-kepala daerah untuk memaksa rakyat agar menyerahkan tanah mereka;

2. Di dalam perjanjian, tanah yang digunakan untuk Culturstelsel adalah seperlima sawah, namun dalam prakteknya dijumpai lebih dari seperlima tanah, yaitu sepertiga atau setengah sawah.

3. Waktu untuk bekerja untuk tanaman yang dikehendaki pemerintah Belanda, jauh melebihi waktu yang telah ditentukan. Waktu yang ditentukan adalah 65 hari dalam setahun, namun dalam pelaksanaannya adalah 200 sampai 225 hari dalam setahun;

4. Orang yang dipekerjakan berasal dari tempat-tempat yang jauh dari kampungnya, padahal makanan harus disediakan sendiri;

5. Tanah yang digunakan untuk penanaman tetap saja dikenakan pajak sehingga tidak sesuai dengan perjanjian;

6. Kelebihan hasil tidak dikembalikan kepada rakyat atau pemilik tanah, tetapi dipaksa untuk dijual kepada pihak Belanda dengan harga yang sangat murah;

7. Dengan adanya sistem persen yang diberikan kepada para pejabat lokal, maka para pejabat itu memaksa orang-orangnya supaya tanamannnya bisa menghasilkan lebih banyak;

8. Tanaman pemerintah harus didahulukan baru kemudian menanam tanaman mereka sendiri. Kadang-kadang waktu untuk menanam; tanamannya sendiri itu tinggal sedikit sehingga hasilnya kurang maksimal;

9. Kegagalan panen tetap menjadi tanggung jawab para pemilik tanah.


2.3 Luas penanaman dan jenis tanaman

Tanah yang dipergunakan untuk kepentingan tanam paksa sebenarnya tak pernah mencakup seluruh tanah pertanian yang ada di Jawa. Paling luas pada tahun 1845 hanya menempati sekitar 5% dari seluruh tanah pertanian dan seperlima dari persawahan yang ada. Sekalipin areal yang digunakan relatif terbatas, namun sistem tanam paksa mempengaruhi seluruh karakter sistem administrasi kolonial.

Pembagian luas tanah untuk penanaman paksa menurut jenis tanaman dalam tahun 1833:

Jenis Tanaman
Luas Tanah (dalam bahu)
Tebu
32,722
Nila (indigo)
22,141
Teh
324
Tembakau
286
Kayu Manis
30
Kapas
5

Jenis tanaman pokok yang harus ditanam pada lahan yang telah ditentukan, antara lain kopi, tebu, teh, dan nila. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kedua tanaman eksport yang terpenting adalah tebu dan nila (indigo)
 
3 Dampak Tanam Paksa

Jika kita melihat dampak tanam paksa yang dijalankan oleh Van den Bosc, maka pihak Belandalah yang mendapatkan dampak keuntungan dari dilaksanakannya sistem ini. Sedangkan yang diterima oleh bangsa Indonesia sendiri hanya semakin merosotnya kesejahteraan hidup. Namun dari sekian banyak dampak negatif, masih terdapat dampak positif yang dirasakan oleh bangsa Indonesia meskipun hal tersebut terlalu dipaksakan.

1). Bagi Belanda
Meningkatnya hasil tanaman ekspor dari negeri jajahan dan dijual Belanda di pasaran Eropa;
Perusahaan pelayaran Belanda yang semula hampir mengalami kerugian, tetapi pada masa tanam paksa mendapatkan keuntungan;
Belanda mendapatkan keuntungan yang besar, keuntungan tanam paksa pertama kali pada tahun 1834 sebesar 3 juta gulden, pada tahun berikutnya rata-rata sekitar 12 sampai 18 juta gulden.

2). Bagi Indonesia
Kemiskinan dan penderitaan fisik dan mental yang berkepanjangan;
Beban pajak yang berat
Pertanian, khususnya padi banyak mengalami kegagalan panen;
Kelaparan dan kematian terjadi di mana-mana;
Jumlah penduduk Indonesia menurun;
Segi positifnya, rakyat Indonesia mengenal teknik menanam jenis-jenis tanaman baru;
Rakyat Indonesia mulai mengenal tanaman dagang yang laku dipasaran ekspor Eropa.

3). Bagi sistem Perdagangan

Jenis-jenis tanaman yang sangat dipentingkan ialah kopi, tebu, dan nila (indigo). Teh, tembakau, kayu manis, lada, ditanam juga. Penanaman lada mencapai pada tahun 1840, yang ditanam ialah 42800 bahu (sebahu 0,7 h.a.). Anak negeri yang bekerja untuk menghasilkan nila lebih dari 200.000 orang dan yang hasilkan 2 juta pound, dalam 749 pabrik. Daerah pertama yang menjadi tempat penanaman nila ialah Parahyangan. Kemudian Cirebon juga mendapat tugas untuk menanam nila. Tanah menjadi kering karena penanaman nila, sehingga lebih baik ditanam tebu. Pada tahun 1839 yang ditanami tebu 27.000 bahu. Pada tahun 1842 telah naik menjadi 37.000 bahu. Pada tahun 1850 dihasilkan 1.400.000 pikul. Milik pemerintah Hindia-Belanda 1.000.000 pikul seharga f 10.000.000, selebihnya dihasilkan di tanah-tanah partikelir dan di Surakarta serta Yogyakarta. Kopi makin banyak laku di Eropa dan arena itu penanaman kopi diperluas. Dalam musim 1834-1835 ditanam 25.600.000 pohon kopi diseluruh Jawa dan dalam musim 1835-1836 ditanam 29.200.000. Pohon-pohon itu ditanam oleh anak negeri dengan tidak memperoleh bayaran dan mereka juga memelihara dengan tidak mendapat upah jerih. Hasilnya jauh di bawah buahnya, karena kekurangan tangan. Semenjak tahun 1840 dihasilkan lebih kurang 1.000.000 pikul setahun.

Telah diterangkan sebelumnya bahwa tanaman-tanaman yang wajib ditanam juga selain kopi, tebu, dan nila, juga terdapat tanaman lain, yaitu teh. Dalam penanaman ini teh tidak seberapa untungnya. Pada tahun 1839 ada 8.000.000 rumpun teh. Enam tahun kemudian 20.000.000 rumpun. Hasil yang diperoleh 900.000 pound. Hasil dari cochenille (bahan warna merah dari semacam serangga) tidak lebih dari 81.00 pound ditahun 1850, kayu manis yang pada mulanya hanya ditanam di Karawang, juga ditanam di daerah-daerah lain. Pada tahun 1840 ada 1.700.000 pohon. Yang mengerjakannya 7000 keluarga. Pada tahun 1850, 10.000 keluarga. Mereka menghasilkan 200.000 pound. Penanaman tembakau dimulai di Rembang, Kedu, Pasuruan, dan Banyuwangi. Jumlah kebun tembakau menjadi 37, luasnya 4000 bahu. Keluarga yang bekerja di situ 37.000.

Dalam culturstelsel ini sangat menguntungkan pemerintah Hindia-Belanda, dari hasil penanaman ini dapat menutupi semua hutang-hutang. Dan sistem tanam paksa ini dijadikan sebagai suatu pengaturan kehidupan ekonomi di Hindia-Belanda yang diselenggarakan untuk menunjang dan meningkatkan tingkat kemakmuran negeri Belanda. 
 
 DAFTAR PUSTAKA

Ananta Toer, Pramoedya. 2009. Panggil Aku Kartini Saja. Jakarta: Lentera Dipantara

Sartono Kartodirjo, dkk. 1977. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid IV dan V, Jakarta: Balai Pustaka

Moedjanto, G. Drs. M.A. 1988. Sejarah Indonesia Abad XX, Jilid I, Yogyakarta: Penerbit Kanisius

Ricklefs, M.C. 1991. Sejarah Indonesia Modern, diterjemahkan oleh Drs. Dharmono Hardjowidjono. Yogyakarta: Gajah Mada University Pers 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar